Blitar – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Blitar melayangkan surat rekomendasi ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Blitar untuk melakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di tiga belas Tempat Pemungutan Suara (TPS), diantaranya 2 TPS di wilayah Kecamatan Sukorejo dan 11 TPS di Kecamatan Sananwetan.
Komisioner Bawaslu Kota Blitar Divisi Penanganan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa, Muhammad Nur Azis membenarkan terkait Bawaslu telah melayangkan surat ke KPU, namun hanya meneruskan rekomendasi dari Panwascam.
“Kami tidak tahu detailnya karena rekomendasi itu berasal dari Panwascam. Eksekusi PSU ada di tangan KPU, bukan Bawaslu,” Kata M. Nur Azis, Minggu, (01/12).
Sementara itu Mashudi anggota tim hukum Syauqul Muhibbin – Elim Tyu Samba (SAE) menanggapi upaya PSU yang direkomendasikan Bawaslu ke Ke KPU Kota Blitar, tim kuasa hukum berharap keputusan KPU Kota Blitar dalam mengambil keputusan harus berdasarkan regulasi, bukan tekanan politik.
“Kami berharap KPU bersikap profesional dan adil. Jika tetap memutuskan PSU tanpa dasar hukum, kami tidak akan tinggal diam,” katanya.
Mashudi menambahkan, dalam hitung cepat pasangan nomor urut 2 Ibin – Elim unggul 53,18 persen dari pasangan nomor urut 1 Bambang – Bayu.
Dengan keluarnya surat ekomendasi Bawaslu pelaksanaan PSU dinilai mengada-ada, dan dipertanyakan netralitas sebagai penyelenggara.
“Kita mengasumsikan menilai rekomendasinya mengada-ngada. Jadi sekarang kita serahkan pihak KPU karena Panwascam sudah mengrimkan surat melalui Bawaslu terkait PSU,” Tambahnya.
Tim SAE menilai rekomendasi PSU oleh Bawaslu sebagai bentuk rekayasa politik untuk menggagalkan kemenangan paslon nomor 02, karena proses pemungutan dan penghitungan suara telah berjalan baik tanpa pelanggaran yang signifikan, bahkan semua saksi telah menandatangani hasil pemungutan suara di masing-masing TPS.
“Ini jelas bentuk ketidakadilan. Kami merasa terzalimi oleh rekomendasi yang mengada-ada ini. Jika KPU tetap melaksanakan PSU, kami akan mempertanyakan netralitas penyelenggara,” katanya.
Pada Pasal 372 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, PSU hanya dapat dilakukan jika terdapat pelanggaran serius. “PSU itu syaratnya berat. Harus ada bencana alam, kerusuhan, atau pelanggaran seperti perusakan surat suara oleh petugas. Sementara dalam kasus ini, temuan seperti keterlambatan saksi di TPS atau saksi pergi ke kamar mandi tidak mempengaruhi jalannya pemungutan suara. Ini tidak masuk akal,” tegasnya.
Tim nomor urut 2 mengingatkan, jika pelaksanaan PSU tidak sesuai aturan dapat memiliki konsekuensi pidana. “Jika KPU memutuskan PSU tanpa dasar yang kuat, kami akan membawa kasus ini ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Jangan main-main dengan keadilan,” pungkasnya.