Opini*
Penulis : Habibullah
Gejolak darurat konstitusi yang mengundang banyak reaksi sudah berlalu. Kini tinggal isu politik dinasti yang terus digalakkan oleh partai politik yang merasa sakit hati.
Semua semakin benderang, mana yang ambisius dan mana yang rakus akan kekuasaan. Muaranya tetap untuk menjadi raja lokal pada perhelatan pemilihan kepala daerah mendatang.
Tenggat waktu yang semakin dekat, membuat parpol dan politisi sibuk menjajaki dan menjajakan kepentingan dengan manuver politik yang kadang menyesatkan.
Banyak pesona politik yang disebar dengan berbagai cara untuk memperkenalkan para kandidat, meskipun ada yang tidak jelas ideologi dan latar belakang politiknya.
Sehingga rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam demokrasi, dibingungkan dengan munculnya calon dan paslon yang kualifikasinya jauh dari idealisasi seorang calon pemimpin.
Penilaian atas kepatutan seorang kandidat dari segi integritas dan intelektualitas seakan sudah tidak ada lagi. Semua bertumpu pada elektapopularity yang berdasarkan kalkulasi kuantitatif, bukan kualitatif.
Istilah elektapopularity sendiri, adalah akronim dari padu-padan kata elektabilitas dan popularitas. Menyadur makna dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), elektabilitas berarti keterpilihan.
Dalam situs Political Dictionary, elektabilitas mengacu pada persepsi kemampuan seorang calon untuk memenangkan pemilu. Penilaiannya diukur oleh pemilih, orang di dalam partai, pakar politik dan media.
Untuk istilah selanjutnya, yakni popularitas. Mengacu pada KBBI, diartikan sebagai kepopuleran atau tingkat kepopuleran. Atau yang dalam bahasa sederhananya, adalah banyak dikenal dan di ketahui banyak orang.
Sedangkan Menurut Britannica Dictionary, popularitas adalah keadaan disukai, diterima, atau diakui oleh banyak orang. Bedanya pengertian ini dengan yang di atas, keberadaannya lebih diakui.
Jika dikaitkan dengan kontestasi politik, maka elektabilitas dan popularitas adalah sesuatu yang memiliki nilai lebih untuk dipilih oleh masyarakat dan berpeluang untuk menjadi pemenang.
Politik Elektapopularity
Politik elektapopularity seperti jaring laba-laba, kekuatannya terus menjerat dan mengkerangkeng demokrasi dalam setiap proses politik. Wabilkhusus ketika berkaitan dengan penentuan calon pemimpin.
Dalam leksikon politik kekinian, elektapopularity yang dasarnya adalah angka, statistik, dan citra. Di anggap sebagai azimat bertuah untuk mencapai kuasa dan kemenangan di setiap kompetisi dan kontestasi.
Tingginya kepercayaan atas kekuatan magic dari elektapopularity, bisa kita lihat dari banyaknya keputusan dan kesepakatan para elit politik dan parpol dalam mengusung calon pemimpin.
Di satu sisi, elektapopularity seperti menjadi harga mati bagi para politisi dan parpol yang ambisi pada kekuasaan. Sedang di sisi yang lain, justru menjadi momok menakutkan bagi mereka yang tidak populer dan elektabel.
Dalam jurnal Risalah (2017) Vol. 28. No. 2. Desember, ada tulisan menarik yang mengulas politik di Indonesia dengan judul : Mencermati Pilihan Rakyat antara Popularitas dan Integritas Semu.
Ulasan yang ditulis oleh Suardi tersebut, mengatakan bahwa poularitas adalah hal penting yang selalu menjadi incaran partai politik. Karena, popularitas sangat berperan dalam menentukan minat dan pilihan masyarakat.
Dari sinilah, partai politik melihat popularitas sebagai cara untuk mengangkat elektabilitas seorang kandidat. Maka dari itu, tidak mengherankan bila partai politik dalam penentuan pasangan calon selalu berdasarkan pada elektapopularity semata.
Dengan demikian, pemilih seperti selalu dipaksa untuk memilih pemimpin sesuai penilaian para politisi, parpol, dan media. Sedangkan calon yang diusung, kualitas intelektualitas dan integritasnya jauh dari idealisasi seorang pemimpin.
Bahaya Elektapopularity
Setiap pilihan pasti ada efek yang bakal berdampak pada pemilih dan yang tidak memilih. Apalagi ini bicara pemimpin dan kekuasaan. Yang mana, hajat orang banyak menjadi taruhannya.
Memilih pemimpin itu memang gampang-gampang susah, sebab ia berada di antara ujung paku dan pangkal pikiran. Kalau yang pertama, yang penting nyoblos. Kalau yang kedua, tentu tak cukup hanya dengan akal polos.
Kualifikasi kepemimpinan itu tidak cukup hanya dengan berdasarkan elektapopularity dari partai politik maupun seorang calon semata. Kualifikasinya tentu jauh lebih esensial dari itu.
Sebagaimana dikatakan M. Alfan Alfian, seorang pengamat politik yang dalam tulisannya termuat di Koran Sindo dengan judul : Demokrasi Kok Elektabel? edisi 08 Februari 2014 silam.
Dia mengatakan bahwa demokrasi seharusnya tidak berurusan dengan popularitas, pun elektabilitas. Demokrasi mestinya berurusan dengan ikhtiar untuk mencari pemimpin-pemimpin yang bermutu.
Namun dengan maraknya calon pemimpin yang diusung partai politik melalui kualifikasi yang hanya berdasarkan elektapopularity. Tentunya semakin membenarkan pendapat pengamat politik tersebut.
Bahwasanya, derajat dari demokrasi itu sendiri sedang diturunkan ke level terendah oleh parpol dan para politisi. Yakni penurunan level hanya pada urusan-urusan teknis untuk melejitkan elektapopularity semata.
Sehingga rakyat sebagai representasi tunggal pemilik sah dari suara tuhan, seakan benar-benar hendak dihilangkan kedaulatannya. Yang tentunya dengan pilihan-pilihan yang sangat jauh dari kualifikasi ideal seorang calon pemimpin.
Jika praktik politik dalam penentuan calon pemimpin sudah demikian, maka bidang pengkaderan dalam struktur kepartaian untuk mencetak pemimpin berkualitas. Keberadaannya sudah tidak relevan lagi, dan kalau perlu dihapuskan saja.
Meminjam istilah M. Alfan Alfian, jika memang begini realitas politik kekinian, maka partai politik tak ubahnya halte sementara bagi mereka yang mau naik kendaraan menuju stasiun kekuasaan.
Wassalam